--Melangkah--



              Waktu berlalu, 4 bulan sudah kejadian di Jakarta itu. Kini aku melanjutkan hidup di Yogyakarta dengan melanjutkan studi doctoral-ku. Aku, Senjaku April Glory, Unik ya. Nama yang sesuai dengan kelahiranku, waktu senja di penghujung bulan April yang begitu indah. Begitu kata mereka, bapak dan bundaku. Aku seorang peneliti sosial politik, hampir 5 tahun sudah di Jakarta dengan dinamika realita sosial politik ibukota. Menghantarkanku sebagai orang yang professional dibidangnya. Bermitra dengan pejabat sampai masyarakat. Pindah dari kota metropolitan itu sudah lama kupikirkan, karna mimpiku hanya bertani. Tapi, jalan tuhan membawaku pada pertanian sosial politik.
              Waktu telah berubah bersama dengan Kota Yogya yang sederhana. April nan Glory itu berubah dalam kesepian, kesederhanaan dan kesendirian. Sulit memang, meninggalkan 5 tahun yang sudah terbangun. Ini tentang pilihan, langkah mana yang mesti aku perjuangkan dan langkah mana pula yang harus kutinggalkan.
              “ are you serious with this research?” Tanya seorang peneliti tamu dari Sidney University. “ yes, why not. That’s will be helped we are to can indeep describe this problem”. Perdebatan biasa diruang para peneliti dalam upaya mencapai kesahihan data. Tentang bagaimana rincian masalah bisa diselesaikan secara ilmiah dan terukur.
              Berhadapan dengan buku, design penelitian, turun kelapangan dan analisis data serta forum ilmiah ke forum-forum praktis-pun adalah bagaian dari hidupku. Melanjutkan kuliah doctoral disini bukan saja tentang berlari dari lelaki, tapi juga tentang pembuktian diri terhadap seorang ibu yang di hujat gila.
              “ ndak ado pitih kau, manga kau sakolaan juo anak kau. Gila kau!”. Kalimat caci maki itu, didapat ibu setelah berupaya meminjam uang untuk kuliah kakakku. Iya, kami adalah orang minang dan lahirpun ditanah minang. Tanah beradat dan beragama yang jadi kebanggaan. April kecil, sudah melihat perjuangan ibu dari pintu ke pintu untuk berhutang. Menyekolahkan anak-anaknya untuk bisa sukses. “ndak ado tanah nan ka ibu wariskan nak, sikola ko dek kalian”. Begitu pesan ibu yang kerap dihiasai derai air matanya.
              Sedari kecil aku menyadari, tentang diri ini siapa dan harus bagaimana. Dirumah kecil itu kami beradik kakak tumbuh, tanpa perhatian sang ayah. Ia sibuk berjudi dan acap kali sumpah serapah dan pukulan yang harus kami terima. Ayah tak pernah benar-benar hadir bagiku, selain sebagai lepas Tanya. “punya ayah?”, ya aku punya. Itu saja, tidak lebih dari itu.
              Disini, aku menjauh dari segala hiruk pikuk dunia. Aku menjauh dari keluarga, menyendiri dan menepi atas segala kejadian dan pengalaman yang tidak begitu beragama apalagi beradap bagi mereka sang pengaku. Aku tak benar-benar sesuai dengan asalku, tanah minang itu. Riang gelak tawaku besar di surau tapi harus melihat bagaimana bapak bermain judi di lapau koa, permainan kartu khas orang minang. Bagaimanapun agama dipupuk di ruang surau ataupun TPA, aku melihat bapak tak pernah shalat. Bahkan ketika aku melihat bunda-pun shalat, sumpah serapah mengeluh dan gaya hidup-pun masih disembah. Aku tak cukup ilmu untuk bicarakan itu.
              Sekarang aku tumbuh dalam keterbatasan pemahaman agama itu, menjadi liar akan imajinasi dan pendidikan. Tak puas rasanya ilmu kala menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Aku melangkah, berkunjung dan menetap di kampus gajah mada ini. Melangkah akan sesuatu yang tak ingin ku rencanakan banyak. Melangkah untuk menikmati saja, mengalir agar aku bisa tumbuh mandiri dan meski dalam sepi.
----0---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

---Teman Baru---

Prolog

---Kejadian---