Postingan

---Teman Baru---

Si Merah-pun menepi, memakir cantik dirinya di sebuah kedai kopi “Marawa Coffe and Shop”. Empat bulan lalu aku melihat kedai kopi ini, suasana rindang. Ada perpustakaan kecil, barber shop dan clothing line dilantai satunya. Kedai kopi dan panggung musik sederhana dilantai duanya. Namanya cukup minang sekali, aku mengira ini memang yang punya orang minang. Tapi rasa penasarannku hanya terhenti disana. Empat bulan sudah aku sering bolak balik kesini, ke Marawa ini. Sekedar mengingat rasa kopi asal Sumatera Barat, biar lidahku tidak kelu akan rasa kampung halaman yang sudah tak pernah aku kunjungi. Karyawan Marawa sudah tau, aku salah satu pelanggan setianya disiang hari. Marawa akan selalu ramai dikala malam menjemput, apalagi akhir pekan. Coffe shop yang komplit ini begitu ramai malam karna ada live musiknya atau sesi diskusi isu-isu tertentu dimalam kamisnya. Tapi malamku tak pernah disini, aku menepi dikamar yang sepi hingga terlelap dipagi hari. Aku belum cukup bisa membuka

---Kampus dan Dunia Penelitian---

Dengan terburu-buru aku bergegas menuju kampus, tempat aku menempuh studi s3. Si merah sudah menanti, dan kami siap menuju kampus untuk bertemu Mas Mada promotor disertasiku. Dampak lembaga konsultan politik terhadap sistem pemilu di Indonesia, begitu disertasi penelitian doktoralku. Penelitian yang tidak jauh dari dunia pekerjaanku selama berada di Jakarta. Setidaknya, dua kali pemilu nasional sudah aku lewati tanpa ikut memilih tapi menjadi bagian dari yang mempengaruhi pilihan pemilih di negara ini.          Di tengah perjalanan, handphone ku berbunyi. Mas Mada menghubungi dan menanyakan jadwal konsultasi kami. Sembari Mas Mada memberi tau ada peneliti Indonesianis dari Australia yang akan ikut dalam diskusi kami nanti. Aku setengah kaget dan senang, dua orang peneliti indonesianis akan ikut mendiskusikan penelitianku. “saya sudah dekat, saya cari parkiran dulu dan langsung ke atas mas”. Antusias itu memburuku, menjadi penyemangat bahwa otakku masih bisa di andalkan.         

---Merindu---

              Sudah lama rasanya tidak bisa tidur nyenyak, gelisah. Sejak usiaku 18 tahun, aku tak benar-benar bisa dengan nyenyak untuk tidur. Sejak hati ini tak lagi bisa percaya pada apa yang dilihat, apa yang dirasakan. Hampir setiap malam, pergulatan pikiranku membawa kemasa-masa dimana aku besar dengan pukulan, caci maki dan sumpah serapah itu. Aku benar-benar sudah tak bisa menangis kala mengingat semua ini. Kacau sudah mentalku, tak sehat pula jiwaku meskipun raga selalu senyum dan mencoba bahagia. Aku tak ingin, ada rasa hiba menghampiriku yang sudah dewasa ini, 30 th sudah.               Andai setiap anak bisa lahir dan hidup dengan memilih orang tuanya, keluarganya. Mungkin itu akan aku lakukan. Tapi maha esa-nya tuhan itu, dia bolak balik semua mimpi indah itu. Dia hadirkan padaku kedua orang tua yang tak pernah akur, keluarga yang tak bahagia itu. Aku tidak ingin mengugat tuhan dengan jalan ini, mungkin-pula dengan segala takdir ini aku bisa melangkah sampai disini

--Melangkah--

              Waktu berlalu, 4 bulan sudah kejadian di Jakarta itu. Kini aku melanjutkan hidup di Yogyakarta dengan melanjutkan studi doctoral-ku. Aku, Senjaku April Glory, Unik ya. Nama yang sesuai dengan kelahiranku, waktu senja di penghujung bulan April yang begitu indah. Begitu kata mereka, bapak dan bundaku. Aku seorang peneliti sosial politik, hampir 5 tahun sudah di Jakarta dengan dinamika realita sosial politik ibukota. Menghantarkanku sebagai orang yang professional dibidangnya. Bermitra dengan pejabat sampai masyarakat. Pindah dari kota metropolitan itu sudah lama kupikirkan, karna mimpiku hanya bertani. Tapi, jalan tuhan membawaku pada pertanian sosial politik.               Waktu telah berubah bersama dengan Kota Yogya yang sederhana. April nan Glory itu berubah dalam kesepian, kesederhanaan dan kesendirian. Sulit memang, meninggalkan 5 tahun yang sudah terbangun. Ini tentang pilihan, langkah mana yang mesti aku perjuangkan dan langkah mana pula yang harus kutinggalk

---Kejadian---

Dan pada akhirnya, kata kepedulian itu adalah ketidakpedualian itu sendirinya. Yang datang itu hanyalah kesinggahan, menemani sementara dan berlalu sudah. Apakah takdir mempermainkanku, atau Ia menari dengan bangga atas segala kesusahan ini? Tak setetespun air mata itu keluar, bahkan dipaksa-pun tak akan mengalir.               “ iya bang, nikmat memang. 2 ronde ndak cukup rasanya”. Gelak tawa cerita sangat intim itu dibagikan olehnya, Samy kepada senior ditempat kita bekerja. Hening sudah dibalik dinding itu aku mendengarnya. Aku tak menyangka, lelaki yang mendampingiku diruang kerja dan ruang keseharian itu mengungkap hubungan intim kami. Lekas sudah aku selesaikan kerjaku, ku tutup rapat laptop. Ku Tarik dalam nafasku, dan segera menuju ke dapur kantor. Ku aduk segelas kopi dan menggema sudah cerita-cerita intim itu dibenakku. Tak lama ku beranikan diri keluar, dan membuka pintu. Ya, harus berjalan melewati dan berhadapan dengan mereka.               “ Eh April, dari mana

Prolog

Kembali menulis!!! Waktu telah banyak memberikan pengalaman kehidupan. Banyak kisah yang dapat ditulis meski tak selamanya kisah itu indah. Kita hanya sedang berlari dalam setapak waktu yang terus bergerak. Tidak perlu keluh kesah bukan? Namanya kehidupan, semuanya hanya perlu disyukuri. Jangan sampai menggugat tuhan karena kita tak punya pengacara untuk bisa menang melawanNya. Mari angkat kepala dan menari, senyumin aja!