---Kampus dan Dunia Penelitian---


Dengan terburu-buru aku bergegas menuju kampus, tempat aku menempuh studi s3. Si merah sudah menanti, dan kami siap menuju kampus untuk bertemu Mas Mada promotor disertasiku. Dampak lembaga konsultan politik terhadap sistem pemilu di Indonesia, begitu disertasi penelitian doktoralku. Penelitian yang tidak jauh dari dunia pekerjaanku selama berada di Jakarta. Setidaknya, dua kali pemilu nasional sudah aku lewati tanpa ikut memilih tapi menjadi bagian dari yang mempengaruhi pilihan pemilih di negara ini.
         Di tengah perjalanan, handphone ku berbunyi. Mas Mada menghubungi dan menanyakan jadwal konsultasi kami. Sembari Mas Mada memberi tau ada peneliti Indonesianis dari Australia yang akan ikut dalam diskusi kami nanti. Aku setengah kaget dan senang, dua orang peneliti indonesianis akan ikut mendiskusikan penelitianku. “saya sudah dekat, saya cari parkiran dulu dan langsung ke atas mas”. Antusias itu memburuku, menjadi penyemangat bahwa otakku masih bisa di andalkan.
         Kami bertemu di ruang rapat lembaga peneliti politik dan pemerintahan kampus. “maaf mas, saya terlambat”, sapa saya kepada Mas Mada. “untung penelitianmu menarik”, canda Mas Mada menyambut keterlambatan itu. Mas Mada kemudian memperkenalkanku pada dua orang sosok yang tulisan penelitiannya selalu saya baca. Aspinal dan Marcus, orang yang banyak meneliti tentang politik di Indonesia pasca reformasi 1998.
         Pertemuan itu dimulai dengan saling mengenal dan kemudian pembahasan yang to the point terhadap apa yang menjadi penelitian disertasi kami. Aku menjelaskan dengan sebaik mungkin, tentang pengaruh lembaga konsultan politik dalam sistem pemilu. Pemilu berbiaya tinggi bukan karna sistemnya saja, tetapi juga cara kerja lembaga konsultan politik yang mengatur strateginya.
         Dua jam diskusi itu terjadi, Mas Mada sebagai promotor tanpak begitu puas dan bangga. Apalagi setelah Aspinall dan Marcus mengajak kami berkolaborasi untuk merangkai penelitian ini menjadi penelitian yang serius dan mendalam lagi. Aku-pun cukup bangga, di ujung pembicaraan penelitian ini bisa menjadi langkah awal aku sebagai peneliti professional. Aku suka kampus dan penelitian, mungkin karna hobby membaca novel dan menonton film misteri telah jauh mempengaruhiku.
         “April, saya minta dua minggu lagi draf proposal riset kamu selesai. Kita maju sidang proposal penelitian”, tepukan pundak Mas Mada sebelum aku meninggalkan ruangan itu. “eh, gimana Mas”, kagetku. “Penelitian ini menarik, kita harus segera memulai penelitian ini dan saya rasa kamu gak perlu lama-lama untuk studi”, jawab Mas Mada meyakinkanku. “oh, oke. Aku akan segera kabari setelah draf proposalnya selesai dan reading course ini rampung”, jawaban antara yakin dan keberatan. “ah, kalau proposal selesai dan di sidang, aku harus balik ke Jakarta mengumpulkan data penelitian”, guman dalam hati.
         Begitulah dunia kampus dan penelitianku, empat bulan sudah aku disini merangkai kata demi kata yang ilmiah untuk studi doctoral. Sekali seminggu aku berjumpa Mas Mada, bahkan kala aku buntu akan menulis apa. Mas Mada promotorku merupakan profesor politik yang tulisannya juga selalu aku baca. Beliau peneliti yang handal, dan sangat diperhitungkan. Aku beruntung di bombing oleh beliau. Penelitian sengaja aku ambil sesuai pengalamanku sendiri sebagai orang yang pernah bekerja di lembaga konsultan politik.
Setelah makan siang, aku-pun meninggalkan kampus. Rasa bercampur menjadi deru si Merah di jalanan Yogya di siang yang terik. Handphone yang sedari tadi bersuara, tak aku gubris. Seperti biasanya, aku tak langsung pulang. Aku mencari segelas kopi dan musik yang adem untuk diskusi berat dua jam tadi. Awalnya aku cukup takut memulai studi kembali, setelah apa yang aku alami ketika studi magister dulu di Universitas Indonesia. Mas Aditya, peneliti handal itu menghajar mentalku bertubi-tubi. Mental cengengku yang selama ini pengen mudah-mudah saja. Aku harus meresume banyak jurnal internasional kala itu, dimana keterbatasan bahasa kala itu sangat menghantui ku. Masa studi yang mencapai tiga tahun ikut memperburuk kecengengku, karna kuliah tanpa beasiswa dan harus kerja jadi buruh survey di lembaga konsultan. Penghasilan tak seberapa, uang kuliah yang mengila. Ah, belum lagi bunda yang minta duit untuk sekolah sibontot dan sipembalap itu meninggalkaku demi Umbrella Girls nya. Oh, komplit sudah rasa waktu itu.
Mas Aditya meski menghajarku tanpa ampun, aku selalu berterimakasih. Jalan seorang peneliti tidak boleh cenggeng, bagaimana mungkin aku bisa menembus data-data penelitian yang objektif kalau aku saja cenggeng. Dan memang saja, setelah menjadi data analisis di lembaga konsultan politik, cengeng itu seolah-olah tidak ada lagi. Berubah sudah menjadi tanpa rasa ampun. Kala ennumurator salah entry data, kala surveyor datanya tidak valid, aku bisa menjelma seperti Mas Adit. “Profesional!”, Mas Aditya dan terimakasihku.
Seketika mengingat kejadian-kejadian kampus dan penelitian, aku tersenyum. Senyuman malu dan bangga telah banyak proses yang aku lalui membuatku seperti sekarang ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

---Teman Baru---

Prolog

---Kejadian---