---Merindu---
Sudah
lama rasanya tidak bisa tidur nyenyak, gelisah. Sejak usiaku 18 tahun, aku tak
benar-benar bisa dengan nyenyak untuk tidur. Sejak hati ini tak lagi bisa percaya
pada apa yang dilihat, apa yang dirasakan. Hampir setiap malam, pergulatan
pikiranku membawa kemasa-masa dimana aku besar dengan pukulan, caci maki dan
sumpah serapah itu. Aku benar-benar sudah tak bisa menangis kala mengingat
semua ini. Kacau sudah mentalku, tak sehat pula jiwaku meskipun raga selalu
senyum dan mencoba bahagia. Aku tak ingin, ada rasa hiba menghampiriku yang
sudah dewasa ini, 30th sudah.
Andai
setiap anak bisa lahir dan hidup dengan memilih orang tuanya, keluarganya.
Mungkin itu akan aku lakukan. Tapi maha esa-nya tuhan itu, dia bolak balik
semua mimpi indah itu. Dia hadirkan padaku kedua orang tua yang tak pernah
akur, keluarga yang tak bahagia itu. Aku tidak ingin mengugat tuhan dengan
jalan ini, mungkin-pula dengan segala takdir ini aku bisa melangkah sampai
disini. Menjadi seorang April saat ini, walau dengan segala kepalsuan yang
tumbuh.
Televisi
itu menyala, perdebatan politik jelang pemilu presiden yang benar-benar tak
penting. Hoax ataupun black campaign sebagai pemanis yang sangat membosankan.
Ku hisap dalam rokok ku, sejenak melintas wajah-wajah mereka yang pernah
berbagi senyum denganku. Di Jakarta, semua asa telah ku perjuangkan, walau aku
harus berkata aku kalah berkali-kali.
Bangkit
dan aku raih sebungkus rokok dan korek api, seperti malam sebelumnya aku ingin
menguap seperti asap saja. Beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu balkon.
Duduk diteras malam, disapa angin dan gemerlap sendu Kota Yogyakarta. Kota
dimana tidak mengurusi kehidupan pribadi orang. Sebagaimana nyinyir Padang
ataupun Jakarta, status sosial dan hal privasi lainnya. Ah, benar aku tak
tertarik dengan layar televise itu. Hanya backsong dari setiap asap rokok yang
keluar dari mulutku.
Malam
ini larut, jujur saja tergiang suara bunda. Aku rindu rumah, sudah berapa
purnama tidak pernah aku pulang. Tidak bercengkrama dengan saudaraku. Tidak
bersapa dengan Bapak, ataupun berbicara banyak dengan bunda. Bunda sekarang
sudah melunak lisannya, saat sakit yang dideritanya menahun tak kunjung pergi.
Aku tak banyak tau kondisi mereka saat ini, jarang aku berkabar, pun membalas
kabar. Bunda beruntung, ada uni yang sedang merawatnya. Mereka sekota meski tak
serumah. Ya, uni sejak memilih berpisah dari suaminya diusir bapak. Dia dan
anaknya hidup berdua, sekitar 15 menit jaraknya dari rumah bunda. Sesekali dia
beri kabar, bunda sakit atau bunda perlu duit.
Tak
banyak Tanya bunda padaku, kapan menikah seperti ibu lainnya yang sudah kuatir
anaknya beranjak 30 tahun. Tak pula bunda ikut campur akan urusan pribadiku,
sering dia hanya diam dan sekarang banyak mendekat pada tuhan. Barangkali sudah
ada penyesalan, melahirkan aku atau punya keluarga seperti ini. Aku hanya
pulang saat bunda masuk rumah sakit 4 tahun lalu, dan benar-benar tidak pulang
lagi. Jujur saja aku rindu, ingin rasanya bertemu dan mengadu tetapi tak
sepatah kata-pun mampu aku keluarkan selain hanya bisa mencukupi kebutuhan
bunda, uang! Itu saja, bagiku sudah cukup sekarang.
Ku
geser cusor henponku, membuka layar instagram. Banyak aku follow akun artis
yang berkeluarga dan punya anak bayi yang lucu. Malam ini, pikiranku
menerawang. Akankah rindu ini hanya bias penepianku saja. Atau, rindu ini hanya
fatamorgana yang takan ku realisasikan. Aku rindu, keluargaku meski dan
walau-pun. Sungguh, iri rasanya dengan bayi-bayi ini. Ah, mungkin saja ini
pencitraan saja, dan keluarga bahagia itu hanya ilusi.
Azan
bertalu-talu sahut menyahut, sudah subuh dan aku belum tidur satu picing
matapun. “konsultasi research”, gumanku teringat janji dengan promotor jam 11
siang. Aku masuk dan menutup balkon, menuju kamar mandi. Bukan untuk wudhu,
tapi hanya membasuh muka dan gontai sudah menuju peraduan. Kasur, tempat dimana
punggung ini merasa kuat, tempat dimana segala pengaduan akan ada harapan.
Aku-pun tidur dalam rindu tak jadi.
---0---
Komentar
Posting Komentar